@changi airport-terminal 1
go back to indonesia,
had a lotta discover time.
never forgotten:
|Prince George Park Ressidence| LT.1 Engineering Faculty-NUS| Kent Ridge MRT Station| ABC hostel backpacker| Bugis|ChinaTown|Marina Bay Sands|Sentosa Island| Pantai Dalam Kuala Lumpur| LCC KL|MC D Changi|
and now, welcome lovely homeland, Jakarta Indonesia :')
Senin, 11 Juni 2012
Selasa, 27 Maret 2012
Press Release
Di Balik Huru-Hara
Kenaikan BBM: Konspirasi Elit Vs Hak Rakyat Indonesia
Nusantara sepekan terakhir dihebohkan dengan isu kenaikan harga BBM yang
digelontorkan oleh Pemerintah melalui kementrian ESDM. Seolah tanpa dosa, isu
tersebut dikeluarkan sebelum pemerintah menyelesaikan tanggungan hutang kasus korupsi demokrat, yang bukan lain
merupakan partai penguasa. Spontan kebijakan tersebut menuai pro kontra dari segenap elemen masyarakat
Indonesia dengan berbagai dalil masing-masing. Tidak terlepaskan adalah elemen
intelektual muda. Pasca merebaknya isu ke pasaran, gerakan-gerakan mahasiswa
yang mengatasnamakan berbagai front turun ke jalan menentang kebijakan tersebut
dan gelombang aksi bak arus yang tidak dapat dibendung, anarkis, jauh dari
kesan intelektual.
Satu hal yang harus dipahami bersama, mahasiswa harus paham betul akar
permasalahan dari isu yang berkembang ini. Bukan sekedar ketidakmampuan rakyat
jelata yang katanya korban dari kenaikan harga BBM, lebih dari itu isu BBM kini
dicurigai mutlak merupakan konspirasi skala nasional bahkan internasional. Sebelum
muncul justifikasi lebih jauh, ada baiknya kita mengkonfrontir argumentasi
pemerintah dengan realita yang ada saat ini.
Setidaknya ada 3 argumentasi mendasar yang diusung pemerintah sebagai dasar
kenaikan harga BBM; (1) Tingginya harga produksi sektor hulu industri migas,
(2) Tren harga minyak dunia yang semakin menanjak, (3) Kebijakan subsidi BBM
yang selama ini dianggap tidak tepat sasaran, 53% nya adalah untuk kendaraan
pribadi (Menko Perekonomian dan Kesejahteraan, Hatta rajasa). Sepintas
masyarakat awam niscaya mengiyakan argumentasi tersebut karena terbiasa dengan
budaya ekonomi pasar yang mau tidak mau kita yakini telah menyusup di
Indonesia. Namun argumentasi pemerintah tersebut pada hakekatnya amat mentah
dan tidak mendasar.
Pertama, isu bahwa biaya produksi minyak mentah di Indonesia yang dianggap
tinggi, kenyataannya tidak berdasar. Perlu dicatat, produksi minyak mentah yang
berasal dari Indonesia mencapai 950 million
barrel crude oil per day (MBCD), namun nyaris ½ dari jumlah tersebut diekspor ke
luar negeri karena kepemilikan saham asing yang begitu dominan di Indonesia
(Exon, Chevron, BP, etc). Alhasil indonesia tidak mendapatkan keuntungan
optimal dari kepemilikan SD Migas tersebut. Namun akibat pengelolaan minyak
yang didominansi asing bukan berarti pemerintah tidak mendapatkan keuntungan.
Dari hasil tumpangan asing di Indonesia, pemerintah mendapatkan keuntungan
berupa Pajak Pertambahan Penghasilan (PPh) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNPB) yang jumlahnya dijamin cukup untuk membiayai konsumsi minyak (BBM) di
Indonesia.
Tahun
|
PNPB
|
PPh
|
Total
Pendapatan
|
Besar Subsidi BBM
|
2011
|
173 T
|
65 T
|
238 T
|
195 T
|
2010
|
152 T
|
58 T
|
211 T
|
139 T
|
2009
|
125 T
|
50 T
|
175 T
|
94 T
|
2008
|
211 T
|
77 T
|
288 T
|
223 T
|
2007
|
124 T
|
44 T
|
168 T
|
116 T
|
2006
|
158 T
|
43 T
|
201 T
|
94 T
|
Sumber: Laporan APBN 2006-2011
Data tersebut
menggambarkan bahwasanya subsidi BBM oleh pemerintah tidak akan membebani
pemerintah sama sekali. Mengenai kebijakan ini bahkan pernah disoroti dalam
majalah internasional The Economist dan
pemerintah mendapatkan cemoohan atas argumentasi tersebut dari praktisi ekonomi
internasional.
Selanjutnya terkait dengan statements
Menko Perekonomian Hatta Rajasa yang menyatakan bahwa kebijakan subsidi BBM
selama ini dianggap tidak tepat sasaran, nampaknya kita perlu napak tilas
menuju kasus BLBI, Century, dan Tax Holiday yang secara nyata dan niscaya adalah kebijakan ekonomi pemerintah yang TIDAK
TEPAT SASARAN! Lagi-lagi pemerintah terbukti telah berpihak pada kepentingan
kaum pemodal, bukan rakyat jelata yang seharusnya mereka lindungi haknya.
Terlepas dari segala perhitungan
perekonomian di atas, isu kenaikan BBM ini amat kentara memiliki potensi
konspirasi politik dalam negeri. Partai Penguasa memanfaatkan isu ini untuk
mengalihkan perhatian masyarakat dari skandal korupsi yang melibatkan Ketua
Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Bahkan, di tengah huru-hara nasional
ini SBY masih menyempatkan diri
beramah tamah dengan ‘Elit’ Presiden Eksekutif Mahasiswa di Indonesia untuk
pelesir ke China.
Tidak hanya partai penguasa yang
diuntungkan, baik itu partai kompetitor dan oposisi juga mengambil peluang
besar untuk pencitraan partainya menuju pemilu 2014. Kemarin saja (27/03) sudah
ada beberapa partai yang turun ke jalan demi menarik simpati rakyat di pemilu
2014. Bahkan gawatnya lagi, keterlibatan buruh dalam aksi kenaikan BBM
disinyalir mengandung unsur ‘politik uang’. Luar Binasa!
Isu kenaikan BBM tidak
hanya soal politik dalam negeri. Kuat diduga kenaikan harga BBM merupakan
pesanan asing yang menyusup melalui Letter of Intent (LOI) antara Indonesia
dengan International Monetary Funds (IMF) yang bunyi nya antara lain sebagai
berikut:
“To
achieve this objective, the government intends to adjust administered prices of
petroleum products and electricity before the next fiscal year, with a view to eliminating subsidies for
these products..”
Nyata sudah pemerintah
tidak lagi berdaulat di atas wilayahnya sendiri. Kepercayaan rakyat digadaikan
oleh elit untuk semata-mata menghamba pada kepentingan asing. Padahal dari
perspektif konstitusional, menyerahkan harga minyak pada mekanisme pasar adalah
Inkonstitusional! (Lihat PUTUSAN
PERKARA NOMOR 002/PUU-I/2003).
Adalah tanggung jawab pemerintah melalui hak menguasai negara untuk mengelola
Sumber Daya Alam dan mendistribusikannya kepada rakyat sebagai alat menuju
kesejahteraan rakyat. Ingat, ciri utama perekonomian liberal adalah
perekonomian sepenuhnya diletakan pada mekanisme pasar. Dan alasan kenaikan BBM
yang berpatokan pada tren kenaikan minyak dunia adalah gambaran riil dari
injeksi barat ke Indonesia.
Sekali lagi, kita harus
memahami betul isu kenaikan harga BBM ini secara holistik. Sudut pandang yang
menyeluruh akan menghindarkan kita dari lingkaran setan konspirasi ‘kenaikan
harga BBM’. Atas dasar tersebut, BEM FH UB menyatakan sikap bahwasanya:
1) Menuntut Akuntabilitas dan Responsibilitas Pemerintah
terkait dengan pengelolaan sektor Migas.
2) Mendesak Pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan
kenaikan harga BBM.
3) Segerakan konversi BBM ke bahan bakar alternatif yang
terbarukan.
Salam, Bergerak Merakyat!
Fauziah Suci Angraini,
Menteri Departemen Kebijakan Publik – Badan Eksekutif
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Selasa, 20 Maret 2012
my lecture
Konstitusi dan Konstitusionalisme
Oleh:
Fauziah Suci Angraini (0910110157)
Perkembangan ilmu pengetahuan di
bidang hukum khususnya bidang Tata Negara telah lahir sejak periode Yunani
Kuno. Peradaban yang tinggi dimulai di Yunani sekitar abad 18 SM, kenyataan ini
dapat diperoleh dari eksistensi negara-negara seperti Babylonia, Mesir, dan
Assyria. Melalui sejarah, kita melihat bahwa kesadaran akan bernegara telah
timbul dalam masyarakat dengan corak pemerintahan absolut. Meskipun demikian,
fakta lain menyebutkan bahwa ada pula sejumlah raja yang memerintah dengan
memberikan perlindungan dan jaminan hak-hak bagi warga negaranya, seperti yang
ditunjukan pada masa Hamurabi.
Bentuk pemerintahan absolutisme
merupakan konsep yang lahir pada masa kuno sebelum masyarakat memahami hak-hak
sebagai warga negara. Keadaan ini sendiri muncul akibat adanya larangan dari
penguasa terkait dengan pemahaman negara dan hukum. Pasca turunnya Raja
Pericles di 429 SM, kota Athena disemarakan dengan radikalisme. Kondisi
tersebut memancing pemuda-pemuda saat itu untuk meminta ketegasan pada pemimpin
mereka.[1]
Kondisi ini pada masa kemudian menjadi pemicu lahirnya fisuf-filsuf yang
membahas hukum dan negara. Salah satu pemikiran mengenai konstitusi yang lahir
pada masa ini adalah konsep state
peculiar nature, bahwasanya karakteristik suatu negara tidak terikat pada
politik atau hukum tertentu saja. Semua hal dapat menjadi urusan negara dan hal
ini memerlukan regulasi tertentu. Karakteristik hukum tertentu ini kemudian
dikenal sebagai kontitusi.
Pada hakekatnya, konstitusi telah
melekat pada setiap bentukan negara. Hal tersebut merujuk pada istilah constituer (Prancis) yang
menerangkan maksud sebagai pembentukan, penyusunan atau menyatakan suatu
negara. Atau dengan kata lain konstitusi adalah suatu pernyataan tentang bentuk
dan susunan suatu negara, yang dipersiapkan sebelum maupun sesudah berdirinya
negara yang bersangkutan.[2]
Ini artinya konstitusi telah hadir sebelum bangunan bernama negara itu berdiri.
Istilah ini kemudia relevan dengan teori kontrak sosial, yang mana negara
didirikan (seolah-olah) melalui proses perjanjian antara masyarakat. Satu pihak
menjadi yang memerintah dan satunya menjadi yang diperintah. Tetapi pengertian
konstitusi tidak berhenti pada asal kata tersebut saja. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Konstitusi berarti:
(1)
segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan (undang-undang dasar
dsb); (2) undang-undang dasar suatu negara
Selain
definisi leksikal, pengertian lain tentang konstitusi dikemukakan oleh C.F
Strong dalam bukunya Konstitusi-Konstitusi Politik Modern. Menurut Strong,
konstitusi berarti kumpulan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan
pemerintahan, hak-hak pihak yang diperintah (rakyat), dan hubungan di antara
keduanya. Pengertian yang disampaikan Strong ini cenderung mengurai substansi
(muatan) yang terkandung dalam sebuah konstitusi. Sedangkan James Bryce
mengemukakan bahwa konstitusi adalah suatu kerangka masyarakat politik (negara)
yang diorganisir dengan melalui hukum. Pendapat daripada CF.Strong dan James
Bryce ini menggunakan sudut pandang politik tata negara.[3]
Senada
dengan pengertian konstitusi yang dikemukakan Strong, KC Wheare membagi
pengertian konstitusi menjadi dua, perspektif luas dan sempit. Maksud dari
perspektif luas adalah konstitusi debagai gambaran seluruh sistem
ketatanegaraan suatu negara, kumpulan berbagai peraturan yang membentuk dan
mengatur atau mengarahkan pemerintahan. Sedangkan dalam perspektif yang lebih
sempit, konstitusi bukan merupakan keseluruhan aturan, melainkan hasil seleksi
dari peraturan-peraturan hukum yang mengatur pemerintahan negara tersebut telah
dihimpun dalam sebuah dokumen.[4]
Pengertian yang dikemukakan K.C
Wheare tersebut tidak serta merta ditafsirkan bahwa konstitusi adalah
seperangkan norma tertulis (law as a
written in a book), pada kenyataannya konstitusi tidak selalu berbentuk
dokumen tertulis. Semisal di negara Inggris yang menganut tradisi hukum common law, konstitusi Inggris berbentuk
living law, yakni seperangkat norma
tidak tertulis namun hidup dan ditaati oleh warga negara Inggris. Karena pada
pelaksanaannya, konstitusi memiliki kekhasan dan karakter masing-masing sesuai
dengan dinamika ketatanegaraan tempat ia diterapkan.
Terlepas dari segala perbedaan yang
dikemukakan oleh para ahli terkait dengan konstitusi, perlu digaris bawahi
adalah konstitusi sebagai norma merupakan lex
superior dari hukum biasa (ordinary
law). Konstitusi adalah norma yang menduduki posisi tertinggi dalam sistem
hukum negara, baik itu sebagai norma dasar atau norma fundamental negara.
Sebagai norma dasar atau grundnorm,
konstitusi merupakan aturan ‘pendobrak’ sehingga mampu melahirkan terciptanya
tatanan hukum yang independen dan otonom atau dalam istilah lainnya meta juristic.[5]
Sedangkan sebagai staatsfundamentalnorm konstitusi
mengandung unsur-unsur aturan pokok suatu negara yang ‘dapat’ dituangkan dalam
suatu dokumen negara yang disebut saatsverfassung.[6]
Perspektif terhadap konstitusi tersebut bisa berbeda menyesuaikan dengan
substansi dan karakteristik konstitusi itu sendiri.
Permisalan kristal sebelumnya juga
berlaku pada keberlakuan kedudukan, fungsi dan tujuan konstitusi dari masa ke
masa. Mulai pada masa awal yang mana konstitusi merupakan anti-tesis terhadap
absolutisme, konstitusi sebagai representasi ideologi yang dianut masyarakat
komunal negara, hingga konstitusi sebagai sebuah paham. Konstitusi sebagai
paham adalah sebuah pemikiran bahwasanya konstitusi tidak berhenti pada bentuk
formil konstitusi, melainkan memahami nilai, makna substansi dan jiwa atau
semangat. Hal ini kemudian dikenal dengan istilah konstitusionalisme. Salah
satu tokoh Carl J.Friedrich, mengemukakan bahwa:
“konstitusionalisme adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu
kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang
dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan
yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang
mendapat tugas untuk memerintah.”[7]
Dari pendapat CJ Friedrich di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa konstitusionalisme adalah sebuah paham yang mengutamakan
pada pembatasan kewenangan negara (pemerintah), ssehingga dapat memberika
proteksi pada hak-hak rakyat secara
maksimal. Berbeda halnya dengan konsep dari CJ Friedrich, Abdul Mukhtie Fadjar
mengungkapkan bahwa paham konstitisuonalisme lebih dari sekedar maksud proteksi
hak. Konstitusionalisme meluas pada semangat kedaulatan negara, negara hukum,
pembatasan kekuasaan, perlindungan dan jaminan hak asasi manusia, hingga
pluralisme.[8] Agaknya
konsep yang dikemukakan oleh Mukhtie Fajar tersebut lahir akibat kondisi
internal di Indonesia karena mencantumkan pluralisme sebagai salah satu objek
konstitusionalisme. Namun, konsep pluralisme telah jauh lahir sebelum Indonesia
berdiri, yakni pada masa kepemimpinan Rasulullah SAW melalui semangat Piagam
Madinah.
Pada hakekatnya, konstitusi tidak
hanya memberikan batasan pada pemerintah (penyelenggara negara) saja, tetapi
juga melimitasi hak dan kewajiban warga negara. Konstitusi mendistribusikan
kewenangan dari pemilik kewenangan asli kepada lembaga-lembaga atau
penyelenggara pemerintahan. Dari sisi simbolik, konstitusi menggambarkan fungsi
pemersatu bangsa (symbol of unity), ungkapan
identitas dan keagungan kebangsaana (identity
of nations), dan pusat upacara kenegaraan (center of ceremony). Negara yang bercorak demokrasi pada umumnya
menganut paham konstitusionalisme. Hal tersebut disebabkan substansi muata
konstitusi merupakan kenyataan normatif yang ditransformasikan ke dalam dokumen
resmi (ti describe present reality),
sehingga seharusnya mencerminkan jiwa dan karakter bangsa (volkgeist).
Paham konstitusionalisme merupakan
doktrin yang telah lama ada seiring dengan bongkar pasang bentukan konstitusi
yang ada di masing-masing negara. Di barat misalnya, konstitusionalisme lahir
akibat adanya perlawanan terhadap absolutisme kekuasaan raja. Di Yunani, paham
ini dilatarbelakangi dengan adanya pengekangan kebebasan berpikir (negara dan
hukum), sehingga masyarakat dipelopori para filsuf mulai mengkaji hakekat
negara dan warga negara. Di romawi konstitusionalisme dipahami sebagai ‘lex’
yang menentukan bagaimana bangunan kenegaraan harus dikembangkan sesuai dengan
prinsip the higher law. Tidak hanya
hukum negara saja, namun juga hukum geraja yang dianggap sebagai hukum Tuhan
yang bersifat kodrati (Cicero). Dan
yang paling modern adalah pada masa kepemimpinan Rasulullah SAW. Piagam Madinah
sebagai konstitusi modern pertama di dunia (622 M) telah membawa pandangan yang
holistik dalam perkembangan doktrin konstitusionalisme. Dibuat oleh 13
komunitas di Arab pada saat itu, mengandung unsur deklarasi sebagai suatu
bangsa, hubungan antar komunitas, dan hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi
para pihak yang memperjanjikan.
Konstitusionalisme dalam konteks
Indonesia secara umum telah ada mulai dari gagasan kemerdekaan itu lahir.
Semangat bernegara yang demokratis tertuang dalam pasal-pasal UUD NRI 1945.
Meskipun ada perbedaan pola pikir antara pendiri bangsa, maupun negarawan,
secara umum konstitusi RI mencerminkan kehidupan bernegara yang demokratis dan
mengakomodasi hak-hak warga negara dengan corak kebhinekaan. Oleh sebab itu, penafsiran terhadap konstitusi adalah
hak setiap warga negara dengan mengacu pada semangat kemerdekaan dan
berlandaskan toleransi.
LITERATUR
Jazim Hamidi dan
Malik. 2009. Hukum Perbandingan
Konstitusi. Jakarta: Prestasi Publisher.
-------------------------------. 2006. Revolusi Hukum Indonesia. Jakarta:
Konstitusi Press.
Juniarso Ridwan dan Achmad Soddiq. 2010. Tokoh-Tokoh Ahli Pikir Negara dan Hukum.
Bandung: Nuansa.
Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-Undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan.
Yogyakarta: Kanisius.
Strong, CF. 2010.
Konstitusi-Konstitusi Politik Modern.
Bandung; Nusa Media.
Wheare, KC. 1996.
Konstitusi Konstitusi Modern.
Bandung, Nusa Media
[1]
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodiq,
Tokoh-Tokoh Ahli Pikir Negara dan Hukum, 2010, Bandung, Nuansa. Hlm.12
[2]
Jazim Hamidi dan Malik, Hukum
Konstitusi Perbandingan, 2009, Jakarta, Prestasi Pustaka, Hlm.87
[3]
CF.Strong, Konstitusi-Konstitusi
Politik Modern, 2010, Bandung, Nusa Media, Hlm.14-15
[4]
KC. Wheare, Konstitusi-Konstitusi
Modern, 1996, Bandung, Nusa Media. Hlm.1-3
[5]
Jazim Hamidi, Revolusi Hukum
Indonesia, 2006, Jakarta, Konstitusi Press, Hlm.17
[6]
Maria Farida Indrati, Ilmu
Perundang-Undangan, 2007, Yogyakarta, Kanisius, Hlm. 47-48
[8]
Ibid
Minggu, 18 Maret 2012
my lecture
Kewenangan
Diplomatif Milik Eksekutif
Dalam UUD
NRI 1945
Oleh:
Fauziah
Suci Angraini (0910110157)
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
pasca amandemen telah membawa perubahan dalam tatanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Salah satu cabang kekuasaan negara yang terkena implikasi nya adalah
kekuasaan eksekutif (executive branch).
Seperti yang telah diketahui, pasca amandemen UUD NRI 45 telah menghapuskan
lembaga tertinggi negara (MPR) dalam ketatanegaraan di Indonesia. Sebagai
gantinya, konstitusi mendistribusikan langsung kepada lembaga-lembaga negara
berikut kewenangannya dan hanya terdapat lembaga tinggi negara.
Pertanggungjawaban lembaga tinggi negara pasca amandemen langsung kepada rakyat
melalui perantaraan Undang-Undang Dasar.
Salah satu lembaga tinggi negara yang
dimuat dalam Undang-Undang Dasar pasca amandemen adalah kekuasaan eksekutif.
Hal tersebut dapat ditemui dalam ketentuan UUD NRI ’45 yang berbunyi:
Pasal 4
(1) Presiden Republik Indonesia memegang tampuk kekuasaan
Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
(2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu
orang Wakil Presiden.
Penjelasan dari ketentuan tersebut mengatakan, Presiden ialah Kepala
kekuasaan eksekutif dengan kata lain, Presiden adalah pemegang kekuasaan
eksekutif. Istilah eksekutif sendiri telah dikemukakan oleh dua orang sarjana
hukum, yaitu John Locke dan Montesqueiu yang dikenal dengan teori trias politica. Dalam bukunya yang
berjudul Two Treaties of Government, John Locke membagi kekuasaan negara atas;
(1) kekuasaan eksekutif, (2) kekuasaan legislatif, (3) kekuasaan federatif.
Sedangkan Montesquieu di pihak lain dalam bukunya L’esprit des Lois berpendapat,
bahwa kekuasaan dalam negara harus dipisahkan menjadi: (1) kekuasaan
legislatif, (2) kekuasaan eksekutif, dan (3) kekuasaan yudikatif.[1]
Ismail Sunny kemudian
menerapkan teori tersebut ke dalam konsep tata negara Indonesia menurut UUD NRI
’45. Beliau menyatakan bahwa kekuasaan-kekuasaan umum dari eksekutif berasal
dari Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang termasuk:
a)
Kekuasaan administratif, yaitu kekuasaan terkait dengan pelaksanaan
undang-undang dan politik administratif;
b)
Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan presiden terkait
dengan menginisiasi rencana undang-undang dan mengesahkan undang-undang.
c)
Kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan untuk memberikan
grasi dan amnesti.
d)
Kekuasaan militer, yaitu kekuasaan mengenai angkatan
perang dan atau angkatan bersenjata yang ada di Indonesia,
e)
Kekuasaan diplomatif, yaitu kekuasaan presiden untuk
mengatur dan menentukan hubungan luar negeri.[2]
Pengertian dari diplomasi sendiri belum menemui
kesepakatan antara para sarjana hukum Internasional. Pada hakekatnya kewenangan
presiden ini amat terkait dengan lingkup bahasan hukum Internasional, sehingga
definisi dari diplomacy sendiri
seringkali mengikuti pengertian yang dimaktubkan dalam Konvensi Wina tahun
1961. Salah satu pengertian yang relevan dengan bahasan kekuasaan eksekutif
adalah kebijaksanaan luar negeri (foreign
policy).[3]
Pengertian lain secara leksikal dapat ditemui dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), yaitu:
(1)
urusan atau penyelenggaraan perhubungan resmi antara satu negara dan negara yg
lain; (2) urusan kepentingan sebuah negara dng perantaraan wakil-wakilnya di
negeri lain; (3) pengetahuan dan kecakapan dl hal perhubungan antara negara dan
negara; (4) cak kecakapan menggunakan pilihan kata yg tepat bagi keuntungan
pihak yg bersangkutan (dl perundingan, menjawab pertanyaan, mengemukakan
pendapat, dsb)[4]
Pada umumnya, fungsi diplomatik berkenaan dengan
persoalan-persoalan yang bersifat politis dan perlindungan dan proteksi
terhadap kepentingan nasional di luar negeri. Dalam konstitusi, kewenangan
diplomatif dapat ditemui pada ketentuan UUD NRI ’45 Pasal 11 yang berbunyi:
Pasal 11
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. ****)
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.****)
(3) Ketentuan lebih lanjut ditentukan oleh Undang-Undang.
Maksud dari
ketentuan UUD NRI 1945 tersebut kemudian dijabarkan oleh Prof.Bagir Manan dari
UNPAD dalam bukunya yang berjudul Lembaga Kepresidenan. Beliau menyatakan bahwa
kewenangan diplomatif adalah kewenangan asli yang dimiliki oleh lembaga
eksekutif (original power of executive). Hanya
eksekutif yang berwenang untuk mengadakan atau menginisiasi hubungan dengan
luar negeri. Hanya eksekutif yang berhak untuk mengadakan atau tidak perjanjian
dengan negara lain. Dan hanya eksekutif yang berwenang untuk menyatakan perang
dengan negara lain.[5]
Pada perkembangan
selanjutnya, kewenangan diplomatif ini kemudian dirasa agak berlebihan jika
mutlak dikuasai oleh eksekutif. Oleh karenanya konstitusi Indonesia memberikan
limitasi melaui mekanisme check and
balance dengan menambahkan persetujuan DPR untuk jenis-jenis perjanjian
tertentu. Jenis perjanjian yang memerlukan persetujuan DPR ini disebut secara
tersurat dalam Pasal 13 ayat (2), yaitu:
a)
Perjanjian yang menimbulkan akibat yang luas bagi kehidupan
rakyat luas
b)
Berkaitan dengan keuangan
negara
c)
Mensyaratkan adanya penyesuaian dengan peraturan
perundang-undangan nasional (domestik)
Meskipun
demikian, dalam praktek ketatanegaraan seringkali ketentuan demikian tidak
dapat terpenuhi karena beberapa sebab. Terdapat beberapa perjanjian
internasional yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari DPR, melainkan hanya
dilakukan dengan keputusan Presiden. Hal tersebut kemudian lazim dikenal
sebagai bentuk kebiasaan ketatanegaraan.[6]
Salah satu dokumen resmi terkait dengan hal ini adalah Surat Presiden Nomor
2826/HK/60 yang substansi nya antara lain mengenai perjanjian internasional
yang memerlukan persetujuan DPR yaitu:
a)
Soal-soal politik atau soal-soal
yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri Negara seperti halnya dengan
perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian-perjanjian persekutuan
(aliansi), perjanjian-perjanjian tentang perubahan wilayah atau penetapan tapal
batas.
b)
Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa
sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar negari Negara; dapat terjadi
bahwa ikatan-ikatan sedemikian dicantumkan di dalam perjanjian kerjasama
ekonomi dan teknis atau pinjaman uang.
c)
Soal-soal yang menurut Undang-undang
Dasar atau menurut sistim perundang-undangan kita harus diatur dengan
Undang-undang, seperti soal-soal kewarganegaraan dan soal-soal kehakiman[7]
Kebiasaan tersebut muncul dengan disebabkan beberapa
faktor, antara lain:
1)
Kewenangan
diplomatif adalah kewenangan asli eksekutif (original
power of executive) yang secara hakiki memberikan kewenangan mutlak kepada
Presiden untuk melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain. Kecuali,
perjanjian yang mengandung unsur-unsur dan organisasi negara dan/atau
menimbulkan hak dan kewajiban bagi pemerintah maupun rakyat luas.
2)
Dalam praktek
ketatanegaraan internasional, kewenangan diplomasi lazim dipegang oleh
eksekutif (executive agreement).
3)
Pertimbangan
praktis yakni efisiensi waktu, sehingga kewenangan diplomatif ini cukup
dilakukan oleh eksekutif semata.[8]
Menurut Bagir
Manan, untuk membedakan antara perjanjian yang melibatkan DPR dan yang tidak
dapat dilihat dari unsur-unsur yang diperjanjikan. Selain yang ditentukan di
atas, perjanjian yang memerlukan persetujuan DPR haruslah memiliki sifat
ketatanegaraan (staatsrechtelijke)
yang berarti memperjanjikan unsur-unsur negara (rakyat, wilayah dan kekuasaan
negara). Sedangkan yang tidak melibatkan DPR substansi nya hanya berkaitan
dengan wewenang administrasi semata. Apabila dirasa eksekutif melampaui
kewenangan, DPR berhak mengajukan peninjauan kembali terhadap agreement yang telah atau sedang
dikerjakan oleh eksekutif.
Berkenaan
dengan Pasal 11 ayat (3) UUD NRI 1945, telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur perjanjian internasional yaitu UU No.24 Tahun
2000. Perjanjian yang memerlukan persetujuan DPR adalah:
a)
Masalah
politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara
b)
Perubahan
wilayah atau penetapan batas wilayah RI
c)
Kedaulatan atau
hak berdaulat negara
d)
Hak asasi
manusia dan lingkungan hidup
e)
Pembentukan
kaidah hukum baru
f)
Pinjaman
dan/atau hibah luar negeri (Pasal 10)[9]
Pada bagian
lainnya konstitusi juga memberikan kewenangan pada eksekutif (presiden) untuk
menyatakan perang dengan negara lain. Karena perang merupakan kondisi luar
biasa, maka harus disertai dengan persetujuan DPR sesuai dengan tingkatan yang
sedang dihadapi, yaitu; (1) keadaan darurat sipil, (2)keadaan darurat militer,
(3)keadaan darurat perang. Yang dimaksud perang disini adalah perang melawan
negara asing atau perang antar bangsa. Pengecualian untuk perang yang termaksud
dalam kategori fait a compli seperti
serangan mendadak (a sudden attack) dari
suatu negara asing. DPR harus mendukung segala tindakan untuk menghadapi
ancaman dari asing tersebut.[10]
Keadaan fait a compli ini tidak dapat
diterima sebelum ada peperangan, kecuali telah terjadi keadaan yang nyata.
Kewenangan presiden (eksekutif) ini kemudian disebut dengan kekuasaan perang
atau war power.
Apabila ada
mekanisme menyatakan perang, Presiden (eksekutif) juga dilekati dengan
kewenangan mengadakan perdamaian. Termasuk di dalamnya adalah pengakhiran
secara de jure, hal-hal yang
berkaitan dengan tawanan, ganti rugi, akibat peperangan dan sebagainya. Lain
halnya dengan war power, mengadakan
perdamaian harus menyertakan persetujuan DPR sebagai representatif suara
rakyat.
Selain halnya yang termaktub dalam Pasal 11 UUD NRI ‘45,
kewenangan diplomatif juga dapat ditemui dalam ketentuan UUD NRI ’45 Pasal 13
ayat (1),(2),(3), yang berbunyi:
(1)
Presiden mengangkat Duta dan Konsul
(2)
Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. *)
(3)
Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. *)
Wewenang ini juga termasuk sebagai konsekuensi dari kedudukan
Presiden sebagai kepala negara. Pada hakekatnya hubungan luar negeri tergolong
sebagai bentuk kekuasaan di bidang administrasi negara, namun karena diperlukan
kekhususan tertentu maka dipisahkan dengan wewenang administratif eksekutif. Seluruh tindakan dan kebijaksanaan tentang pengangkatan
dan penerimaan wakil-wakil negara lain adalah termasuk kebijaksanaan mengatur
relasi internasional. Oleh karena itu selain terikat oleh norma-norma hukum
nasional misalnya UUD, UU dan sebagainya, juga terikat oleh norma-norma hukum
internasional.
Penafsiran terhadap ketentuan UUD NRI 1945 Pasal 13
antara lain berkenaan dengan pengangkatan duta dan konsul. Perlu dibedakan
antara perwakilan diplomatik dan konsuler. Perwakilan diplomatik (duta)
dilengkapi dengan hak-hak kekebalan tertentu dan fungsinya berkenaan dengan
problem politik, sedangkan konsuler hanya menjalankan hubungan dengan
instansi-instansi pemerintah lain yang menyakngkut bidang perdagangan,
perindustrian, perkapalan (navigasi), intansi pengadilan dan instansi
administratif yang berkenaan dengan warga negaranya yang tinggal di wilayah
negara asing tempat ia bertugas.
Secara umum, hal-hal yang berkaitan dengan fungsi
diplomatik eksekutif antara lain:
1)
Representasi, atau saluran penghubung resmi yang
menggambarkan sikap negara yang direpresentasikan (diwakili)
2)
Proteksi
Seperti
yang dikemukakan dalam konvensi Wina Tahun 1961 ditegaskan bahwa perwakilan
diplomatik berfungsi melindungi kepentingan negara pengirim serta warga negara
di dalam wilayah dia diakreditasikan dalam batasan-batasan yang telah
ditetapkan hukum internasional.
3)
Negosiasi, mulai dari pertukaran pendapat hingga proses
lobby pra perjanjian internasional.
4)
Pelaporan, terkait dengan perkembangan kebijaksanaan
politik dan peristiwa lainnya di tempat ia diakreditasikan.
5)
Peningkatan hubungan persahabatan antar negara.
6)
Memulai dan mengakhiri perjanjian antar negara[11]
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Bagir Manan. 2003. Lembaga
Kepresidenan, Yogyakarta: FH UII Press
Jazim Hamidi dan Mustafa
Lutfi. 2010. Hukum Lembaga Kepresidenan
Indonesia, Bandung: Alumni.
Setyo
Widhagdo dan Hanif Nur Widhianti. 2008. Hukum
Diplomatik dan Konsuler, Malang: Bayu Media Press
Solly
Lubis. 1997. Pembahasan UUD 1945, Bandung:
Alumni.
Sri
Soemantri. 1993. Tentang Lembaga-Lembaga
Negara Menurut UUD 1945, Bandung: Citra Aditya Bakti
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Surat Presiden No.2826/HK/60
[1] Sri Soemantri,
Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, 1993, Bandung, Citra Aditya
Bakti, hlm.114
[2]Ismail
Sunny dalam Jazim Hamidi, Hukum Lembaga Kepresidenan, 2009, Bandung, Alumni.
Hlm.71
[3] Setyo Widagdho dan Hanif Nur Widhianti,
Hukum Diplomatik dan Konsuler, 2008, Malang, Bayu Media Publishing, hlm.4
[4]
Anonim, http://kamusbahasaindonesia.org diakses tanggal 16 Maret 2012
[5]
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan,
2003, Yogyakarta, FH UII Press, hlm.166
[6]
Ibid. Hlm.167
[7]
Surat Presiden Nomor 2826/HK/60
[8]
Op Cit
[9]
UU No.24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional
[10]
Lock Cit. Hlm.174
[11]
Op Cit. Hukum Diplomatik dan Konsuler
Langganan:
Postingan (Atom)