Sabtu, 24 Desember 2011

a night tale


I’m 20th.

Kurang lebih 14 hari yang lalu, 10 Desember 2011 genap dua puluh tahun sudah saya menjalani fase demi fase, hidup sebagai makhluk manusia,
Masa kecil luar biasa,
Usia tanggung penuh harapan, passion,
and of course being lovely

Menutup 19 tahun 364 hari dengan sebuah istilah, dewasa?
:’(



Saya belum siap,

It’s hard to be adult with all the consequency.

Dunia monoton,
Tapi ada sisi kontradiksi nya,
Semisal kotak pandora,
yang harus dibuka dengan pertanggungjawaban pribadi mutlak.

Setiap lipatan otak saya menginstruksikan kemandirian,
Tapi jiwa saya tidak menyediakan keberanian.
Membiarkan pertentangan antara mereka berdua juga tidak mudah,
Saya jadi lelah :’(

Tidak tahu jadi apa,
Tapi seharian ini saya sudah menghabiskan waktu saya,
Labelnya memikirkan orang lain, bangsa negara malah. Eh?

Tapi menilik kedalam kapasitas pribadi saya,
Bukan Eureka! Tapi Astaga :(

Yeah, now i’m in adults syndrome stadium 3 menuju 4.

Kamis, 01 Desember 2011

untitled


Mahasiswa, Malaikat, dan Setan

Di siang hari yang terik itu, barikade mahasiswa lengkap dengan panji-panji ‘kebesaran’nya berdiri di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat.

Tuntutannya siang itu: berantas kemiskinan!

Malaikat pun lalu lalang di sisian kanan, kiri, mereka. Awalnya hendak mencatat perbuatan baik mereka yang sedang ‘memperjuangkan rakyat’.

Namun ketika pena hampir bertemu kertas, setan pun datang dengan wajah keheranan.

“Apa yang hendak kamu lakukan hai Malaikat?”

“Tentu saja mencatat amal baik mereka, para pejuang-pejuang kemanusiaan. Ada apa setan?”

“Tidakkah kau salah wahai kawan?”

“Apanya yang salah? Tidak kah kau saksikan keringat yang mengucur di dahi mereka demi memperjuangkan rakyat? Tidak kah kau rasakan kelelahan luar biasa selama mereka beraksi? Mereka pantas untuk pahala!”

Karena setan tidak terima atas pemberian pahala itu, akhirnya mereka sama-sama membuka kembali catatan amal para demonstran. Raut wajah si Malaikat pun berubah keruh:

Hai Mahasiswa, berani-beraninya kamu berteriak berantas kemiskinan! Sedangkan hidupmu hedon! Dan catatan keuanganmu tidak kenal arti sedekah! Gila apa?

Hai Mahasiswa, berani-beraninya kamu berteriak selamatkan lingkungan! Sedangkan jutaan puntung rokok setiap harinya kamu hasilkan bersama teman-temanmu! Merenggut kebebasan rekananmu untuk hidup bernafas dari udara yang bersih. Gila apa?

Hai mahasiswa, berani-beraninya kamu pekikkan Nasionalisme, sedangkan tidak pernah kamu melaksanakan amanat bangsa dan negara untuk BerkeTuhanan? Gila apa?

Hai Mahasiswa, berani-beraninya kamu memekikan seruan ANTI KORUPSI! Padahal Bapakmu Pelahap Uang Mahasiswa Beasiswa! Dan dari makanan haram itu darahmu dialiri! Gila apa?

Hei Mahasiswa, berani-beraninya kamu mengaku idealisme, padahal otakmu tidak pernah menyentuh batasan ideal. Dengan pasrahnya kau serap mentah-mentah doktrin asing! Padahal jiwa bangsamu kering kini, ditinggal oleh pemuda-pemudanya yang tak berotak! Gila apa?

Hai Mahasiswa, berani-beraninya kamu berkata STOP DISKRIMINASI PAPUA, padahal seringkali kau rampas hak kawanmu, bukan karena berbeda warna kulit, tapi karena BERBEDA GOLONGAN! Gila apa?

Hei Mahasiswa, berani-beraninya kamu mengaku pejuang rakyat, padahal ayah ibu mu kau durhakai. Untuk setiap kebohongan dan asa palsu yang kalian berikan! Gila apa?



Malaikat pun berpaling, bersiaplah setan mempererat lingkaran demonstran itu untuk sama-sama menuju jalan neraka..

Selasa, 15 November 2011

my experience

Dilematis,
Airin Liemanto


 
terkadang, manusia bisa jadi sangat misterius
ada hal-hal yang sesungguhnya berdiri di antara dirasakan dan tidak dirasakan
atau secara kokoh berafiliasi

ketika kita sibuk melarutkan diri dalam segenap aktifitas,
tataran rasa seringkali mendengungkan sisi misterius

 
 
 
 
untuk dia yang bermain layang-layang,
Voila, saya berada dalam sisian dilematis!

Senin, 14 November 2011

Gaea, Rhea, Hera: Trinitas Keanggunan Tiap Dimensi Waktu.

Hera


Gaea,
lahir dari kontemplasi chaos,
mempersatukan diri dengan Uranus dalam pertautan ufuk,
simbol kepiawaian seorang perintis,
generasi pertama

Rhea,
putri Gaea, ibu dari dewa dewi Olympus,
pengorbananan mengantarkannya ke Pulau Kreta
seorang besar dibalik keagungan Zeus,
generasi kedua


Hera,
perpaduan perfek antara kecantikan, kecerdasan, kemuliaan dan kekuasaan
dialah (ingin) satu-satunya penguasa wanita tahta Zeus
bukti bahwa di balik kesempurnaan ada intrik, ambisi-obsesi,
bahkan tragedi
generasi ketiga








---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Entah bagaimana aku menjelaskan pertautan di antara ketiganya,
tapi sebelumnya pujian tak bercacat kepada mereka yang mentransformasikan bahasa alam, ke dalam utopisme maha agung, Greece

Baiklah, mari memulai ini dari Gaea
Pada saat itu dunia belum terbentuk, Chaos yang merupakan zat mula-mula melahirkan dua zat, Uranus yang ringan namun kokoh dan Gaea yang padat menghampar.
Gaea memastikan setiap anaknya tumbuh cukup. Dengan kekuasaannya, air dan tanah menumbuhkan benih-benih kehidupan, tentunya dengan bantuan Uranus sang Suami

Gaea memang konsep paling abstrak, sarkas
Tetapi ketika ia bertransformasi menitiskan Rhea, perlahan aku menikmati ini semua..
Bagaimana hidup secara setahap demi setahap mewariskan sisa-sisa peradaban antar generasi
Dan untuk kali pertamanya konsep karma muncul dalam kisah Cranos versus Uranus
 ah, ini menggelitik.

Selanjutnya Rhea,
aku tidak dapat membayangkan bagaimana alam dapat memiliki mind dan soul
sekalipun ia paparkan konsep perikatan dan pernikahan, tapi hingga kisah Rhea turun, mitologi ini cenderung merupakan fabel.

Rhea adalah putri dari Gaea dan Uranus. Persatuannya dengan Cranos, membawanya dalam pengorbanan seorang ibu, ya Rhea memang seorang Ibu
Setelah Cranos melahap anak-anaknya, satu demi satu, karena karma phobia
Secara naluriah ia belajar, kelahiran Zeus adalah bukti bahwa mind dan soul itu nyata

Pengorbanannya di Pulau Krete membawanya pada eternality, happiness
Bahkan Olympus tidak cukup agung untuknya,

Dan setelah Zeus naik tahta, generasi ketiga
Aku mengenal Hera, sang penguasa jagad wanita
Bagaimana tidak, ia berkuasa atas kepedihan dan perlindungan sekaligus
Misalnya pada Aphrodite?
Atau kejamnya Hera pada Leto?
Atau Semele?
Entahlah, yang jelas ia gambaran sempurna tentang pertautan ego dan id

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

I'm never know who am i.
but, for those who passionately inspiring :
permitte me for being Hera, Rhea and Gaea in one time





gaea





 

Kamis, 10 November 2011

talk about love, means talk about hope

6 November 2009,
still remember what is it means?

the day you were born,
and it's hystory

27 June 2009,
still remember what is it means?

it's us,
the day when we know, that we have same feel,

without promise, just walking it with commitments,
but that was hystory.

i just wanna talk about love,
surely i know that you're not mine, for now
i know dear :)

and when they say "do not loving too much, you'll hurt by it"
sorry, i can't believe..
the must immportant thing for me is:
please, let me loving you, all the time..
and,
let me hope, that you'll be mine
in the future
all...




thanks 270609

Jumat, 04 November 2011

TENTANG MEREKA YANG MENYUARAKAN KEADILAN

Hari ini, 4 November 2011, sekitar 15 menit yang lalu di ruang kemahasiswaan fakultas hukum. Saya kembali menyaksikan bagaimana hukum itu menampakan sisi diabolisnya.


Mungkin kejadian ini bukan sebuah hal besar, tapi semoga dapat dipetik pelajaran.


Ceritanya setumpuk sertifikat kosong tergeletak di meja kemahasiswaan, acara seminar dari salah satu TV Swasta. Tidak berapa lama setelah itu, datang tiga orang mahasiswa.


Celingak celinguk
Senyam senyum,
dan keluarlah statement:


"Lumayan buat menuh-menuhin sertifikat"


saya yang sedang duduk sekitar 1.5 meter dari mereka tercengang,
statements saya saat itu:


"Ih, lo jadi mahasiswa FH kok berperilaku menyimpang"


entah mereka yang tidak paham maksud ucapan saya atau memang tidak tersentuh hatinya, mereka lanjut saja mengambil sertifikat kosong.


secara conditio sine quanon, yang akan mereka lakukan adalah...
MENGAMBIL SESUATU YANG BUKAN HAK NYA --> MEMALSUKAN DATA FORMIL --> MENGGUNAKAN DATA PALSU UNTUK SELANJUTNYA


luar biNasa,
dari hal-hal kecil saja mahasiswa fakultas hukum sudah berperilaku menyimpang,
tidak menafikan bahwa di masa mendatang akan banyak sertifikat tanah palsu, laporan perjalanan palsu, atau putusan palsu..



ya, begitulah..
sekitar 3 menit kemudian 2 orang temannya datang kembali.
melakukan hal yang sama,
kejahatannya menginspirasi yang lain ^__^"

Selasa, 04 Oktober 2011

Violence vs Youth



            Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.[1] Tujuan akhir dari pendidikan tidak lain adalah terciptanya insan cendikia yang memiliki kemapanan baik secara intelektual maupun moril. Oleh karenanya upaya-upaya pendidikan dilakukan bertahap dan berkesinambungan dimulai sejak fase anak-anak.
            Salah satu sasaran pendidikan adalah terciptanya moral manusia yang sopan, santun, susila dan taat norma. Hal ini menjadi penting karena moral adalah modal pokok bagi suatu bangsa untuk menunjukan identitas dan akan berpengaruh besar dalam konteks pembangunan negara. Tanpa moral, tatanan masyarakat akan cenderung anomie dan anarkis. Oleh karena itu, sudah sepatutnya moral menjadi sebuah prioritas pendidikan tanpa mengenyampingkan kualitas intelektual.
            Pada periodisasi modern saat ini, ada sebuah kecendrungan yang kontradiksi dengan konsepsi kemajuan zaman. Fenomena kekerasan dan premanisme di kalangan intelektual muda, khususnya mahasiswa marak terjadi. Mulai dari yang terang-terangan hingga yang tersembunyi. Padahal sejatinya kekerasan adalah sebuah bentuk kegagalan evolusi aksionalitas dan rasionalitas pada manusia. Sehingga subjek yang dimaksud lebih memilih adu fisik ketimbang negosiasi yang merupakan ciri utama masyarakat berbudaya.
            Belum lama ini kita mendengar kasus penganiayaan yang dilakukan oleh sebuah sekolah unggulan di Jakarta Selatan. Kasus perkelahian antara siswa SMAN X dengan Wartawan pada Senin, 19 September 2011 berakhir ricuh dan membuat pihak sekolah terpaksa meliburkan anak didiknya selama 5 hari.  Kasus ini bermula saat puluhan siswa mengkeroyok reporter Trans 7 yang bernama Oktaviardi, yang saat itu sedang meliput tawuran antara siswa SMA X dan Siswa SMA Y di daerah Mahakam. Pimpinan SMA Negeri X merasa gerah dengan pemberitaan di media seputar “Tawuran SMA X″ yang melibatkan siswa-siswanya dengan wartawan. Mereka menganggap berita yang beredar tidak berimbang dan berencana mengadukan masalah ini ke Dewan Pers.  
            Dari kasus di atas dapat kita saksikan kegagalan fundamen institusi pendidikan dalam memberikan pendidikan moral bagi siswanya. Sekolah yang seharusnya mampu menjadi alat rekayasa sosial, sebaliknya malah mempersalahkan pers dengan tuduhan mencemarkan nama baik institusi. Padahal titik tekan permasalahan ini bukanlah pada kejahatan terhadap benda, tapi kekerasan yang merupakan gejala penyimpangan sosial yang ada di masyarakat.
Dalam perspektif kriminologis, permasalahan tersebut dapat terjawab. Mengapa pelajar melakukan kekerasan? Kriminologi menjawabnya dengan teori pembelajaran social (social learning theory). Seseorang dalam melakukan suatu tindakan akan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pengamatan dan pengalaman. Kekerasan yang dilakukan oleh pelajar menurut teori ini, disebabkan karena mereka mengamati hal-hal disekitarnya, orang tuanya melakukan KDRT atau tontonan televisi dan film yang mengumbar kekerasan serta mungkin ada pengalaman kekerasan langsung yang dilakukan terhadap mereka, baik melalui orang tua (KDRT) ataupun lingkungan pertumbuhannya.

Social Learning Theory ini didukung pula dengan teori perkembangan moral atau Moral Development Theory yang dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Menurut teori ini, perkembangan moral manusia berlangsung selama tiga tahap, yakni:
1.preconventional stage (usia 9- 11 tahun)
2.conventional level (usia 12-20 tahun)
3.postconventional level (usia >21 tahun)
Pelajar menengah pertama atau atas termasuk dalam kategori conventional level dimana dalam tahapan ini seorang individu meyakini dan mengadopsi nilai yang berkembang di masyarakat atau lingkungan sekitarnya. Jika lingkungan itu buruk, maka pengaruh yang buruk akan dengan mudah terserap oleh individu itu.[2] Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa ada sebuah penyebab yang kompleks, baik itu dari sisi individu maupun lingkungan sehingga menyebabkan timbul budaya kekerasan di kalangan intelektual muda.
Apapun alasannya, kekerasan adalah sebuah pelanggaran norma hukum maupun sosial yang memerlukan penyelesaian. Instrumen penyelesaiannya tidak hanya cukup dengan menegakan hukum semata, tetapi harus dibarengi dengan memaksimalkan pendidikan sebagai alat rekayasa sosial untuk mengubah perilaku masyarakat. Hukum harus ditegakan dengan seadil-adilnya. Pengusutan hingga tuntas terhadap pelaku kekerasan di kalangan intelektual muda adalah sebuah keharusan, tentunya dengan memperhatikan sisi-sisi psikologis seseorang. Diharapkan generasi muda dapat tumbuh menjadi lapisan masyarakat seutuhnya, yang moralis dan berintelektualitas.



[1] http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id, diakses tanggal 5 Oktober 2011
[2] http://te-effendi-kriminologi.blogspot.com, diakses tanggal 5 Oktober 2011

Senin, 11 Juli 2011

my lecture


Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
tentang Uji Materi Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(UU No.27 Tahun 2004)



Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga negara yang dibentuk oleh Undang-Undang Dasar pada amandemen ke -3.[1] Lembaga ini memiliki kedudukan sebagai  lembaga pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution) dan lembaga penafsir final konstitusi (The Final Intrepreter of the Constitution), oleh karenanya kepada lembaga ini diberikan beberapa kewenangan berdasarkan amanat konstitusi pasal 24C ayat 1 yang berbunyi:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

            Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diamanatkan oleh UUD NRI 1945, yang pada kemudian diejawantahkan oleh Pasal 10 UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah menguji konstitutionalitas Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945, baik itu pengujian formil maupun materiil (konkret).[2] Maka berdasarkan kewenangan yang dimilikinya tersebut, maka gugatan terhadap Undang-Undang No.27 Tahun 2004 ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi.


            Undang-Undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah produk perundang-undangan yang mengamanatkan pembentukan sebuah komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Tujuan DPR daripada pembentukan komisi tersebut adalah untuk memberikan ruang dan mengumpulkan kembali fakta-fakta mengenai pelanggaran HAM berat masa lampau untuk kemudian dilakukan proses penelusuran kebenaran, pengakuan dan pengampunan (amnesti). Namun pada kenyataannya, Undang-Undang tersebut dianggap tidak sejalan dengan tujuan negara (staatsidee) dan cita hukum (rechtsidee) Nasional, yakni menjaga stabilitas dan kerukunan nasional sesuai dengan amanat Pancasila dan Konstitusi Republik Indonesia.
            Berdasarkan gugatan yang diajukan oleh Pemohon, ada beberapa point yang penulis tangkap, yakni sebuah ketidakcocokan konsepsi teoritis pembentukan KKR dengan cita hukum (rechtsidee) dan tujuan negara (staatsidee), adanya kecacatan formil dalam pembentukan undang-undang KKR, dan inkonstitusionalitas substansi undang-undang tersebut. Oleh karena itu pemohon merasa hak konstitusionalitas nya akan terugikan dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut.
            Pertama, dasar gugatan (posita) yang dibawa oleh pemohon adalah ketidaksesuaian konsepsi teori mengenai upaya penanggulangan dengan pemulihan kejahatan HAM berat masa lampau. Undang-Undang KKR menekankan pada upaya rekonsiliasi, yakni adanya penulusuran kebenaran dan pengampunan untuk mempercepat persatuan nasional. Namun pemohon dengan mendasarkan pada statement beberapa pakar, berargumen bahwa yang dibutuhkan dalam pemulihan kejahatan HAM berat dalam konteks Indonesia kekinian adalah Justice. Penegakan keadilannya. Sehingga upaya yang paling  tepat diterapkan adalah melalui Pengadilan HAM Ad-Hoc.
             Hal ini berseberangan dengan konsepsi yang dikemukakan oleh DPR, yang berkedudukan sebagai pembuat Undang-Undang dalam kata lain tergugat. DPR berpendapat bahwa keberadaan lembaga KKR amat diperlukan dalam penyelesaian HAM berat di masa lalu. Karena sesuai dengan celah yang dibuka oleh Pasal 47 Ayat (1) dan (2) UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Argumentasi ini tidak hanya dimiliki oleh DPR, dalam beberapa literatur konsepsi rekonsiliasi ini dianggap sejalan dengan ide keseimbangan yang terkandung dalam implementasi pertanggungjawaban pidana pada Konsep KUHP. Khususnya mengenai pertanggungjawaban pidana,  dikenal dengan adanya rechtirlijk pardon atau judicial pardon atau pengampunan oleh hakim di dalam menerapkan vicarious liability dan strict liability.[3]
            Berdasarkan dua argumentasi di atas, penulis beranggapan bahwa konsep pemohon lah yang paling dekat dengan ciri negara hukum Indonesia[4]. Karena seseorang tidak dapat ditindak sebelum ada mekanisme hukum yang sah dan putusan pengadilan yang inkracht. Mekanisme hukum disini menjadi sangat penting semata-mata demi menjaminnya kepastian hukum (rechtszekerheid), keadilan (rechtbiljkheid) dan kemanfaatan (doelmatigheid). Oleh karena itu penyelesaian kejahatan HAM masa lalu akan jauh lebih efektif apabila dilakukan melalui Peradilan, yakni oleh Pengadilan HAM Ad-Hoc.
            Kedua, pemohon juga beranggapan ada kecacatan formil dalam pembuatan Undang-Undang, yakni tidak dimuatnya Pancasila dalam konsiderans menimbang dan mengingat yang hanya mencantumkan landasan yuridis dan sosiologis. Padahal kedudukan landasan filosofis menjadi amat penting karena berkaitan erat dengan landasan idiil NKRI. Oleh karena itu melalui penulusuran filosofis,undang-undang KKR berpotensi bertentangan dengan konstitusi, yang mana kedudukannya sebagai norma hukum tertinggi (staatsfundamentalnorm).
            Ketiga, definisi absuurd pada pokok-pokok isi Undang-Undang KKR berpeluang besar untuk menimbulkan ketidakadilan hukum. Salah satunya dalam penjabaran definisi korban, yang mana ahli waris dapat menjadi korban.  Rasionaliasi mengenai saksi atau korban adalah mereka yang harus mengalami, merasakan, melihat, mendengar sendiri peristiwa hukum tertentu (testimonium de auditu) adalah hal yang logis dan apabila tidak terpenuhi maka mekanisme hukum nya kemudian menjadi cacat dan berpengaruh pada keputusan yang dihasilkan.
            Selain ketiga argumentasi di atas, pemohon juga berpendapat bahwa pemberlakuan UU KKR akan berpotensi besar menghidupkan kembali kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kasus masa lalu PKI adalah sebuah luka sejarah yang melekat pada pemikiran bangsa dan tidak mudah untuk dihapuskan. Dengan adanya KKR, maka mantan anggota PKI masa lalu maupun ahli warisnya dapat menggunakan senjata HAM untuk menuntut pengakuan terhadap eksistensi HAM dan keyakinan mereka. Padahal adalah sebuah keniscayaan bahwa ideologi PKI jauh bertentangan dengan ideologi bangsa. Injeksi ideologi asing kepada kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia sudah jelas adalah gangguan  nasional dan tidak boleh dibiarkan.
            Dari kesemua argumentasi di atas, penulis sepaham dengan apa yang digugat oleh Pemohon dan putusan Mahkamah Konstitusi bahwasanya Undang-Undang KKR adalah sesuatu yang inkonstitusional. Keberadaan lembaga KKR adalah sebuah pilihan yang tidak tepat dan dimungkinkan menjadi alat rekayasa politik untuk segelintir orang memaksakan ideologinya. Selain itu dalam tataran logis, mewujudkan lembaga KKR sangat kontradiksi dengan faktor psikologis, baik itu pihak korban maupun pihak pelaku pelanggaran HAM berat. Karena dari sisi pelaku akan sulit untuk “mengaku salah” dan dari sisi korban ialah adanya trauma psikologis yang dialami oleh korban pelanggaran HAM berat. Oleh karenanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bukanlah sebuah pilihan solutif atas permasalahan sisa-sisa Pelanggaran HAM berat di masa lampau. Rasio bahwa ketiadaan lembaga yang akan menangani kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sudah terbantahkan dengan kewenangan Pengadilan Ad-Hoc yang dapat memutus Kejahatan HAM masa lalu (retroactive) dan ini merupakan perwujudan dari negara demokratis yang berdasarkan pada hukum.
             


[1] Berdasarkan pendapat Moh.Mahfud M.D dalam Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, yang dimaksud amandemen adalah ‘Pengesahan’ terhadap perubahan konstitusi itu sendiri. Tidak tepat jika dikatakan kalau UUD 1945 sejak tahun 1999 sudah diubah atau diamandemen empat kali.  Hal yang benar adalah UUD 1945 diubah atau diamandemen satu kali, dan dibahas selama tiga tahun dengan cermat dan disahkan dalam empat tahap sidang tahunan MPR yaitu tahun 1999, tahun 2000, tahun 2001, dan tahun 2002.
[2] Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi; Suatu Studi Tentang Ajudikasi Konstitutionalitas sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Jakarta: Pradnja Paramitha, Hlm.117.
[3] Barda Nawawi Arief, 2004, Pokok-Pokok pemikiran (Ide Dasar) Asas-Asas Hukum Pidana Nasional, Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Asas-Asas Hukum Pidana Nasional, diselenggarakan oleh BPHN Depkeh dan HAM RI bekerja sama dengan Universitas Diponogoro Semarang. Hlm.16.
[4] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia amandemen ke-3.

Rabu, 06 Juli 2011

it is dark? is it dark?

semua orang pasti pernah punya waktu-waktu gelap. mungkin sekarang saatnya buat gue.
life without passion.
don't know what i've to do.
buat pertama kalinya sejak kuliah gue ngerasa ga ada pegangan.


ga ada perasaan sama sekali, kosong aja.
ga bisa ngerasa sedih atau seneng.

ujian gue terlantar, dan ini yang terparah.
dan gue sama sekali ga ngerasa worried sama hasilnya.

singkat kata, mati rasa.

saat ini rekor terlama gue ga komunikasi sama dia.
mengakhiri tidak sesederhana dan semudah yang gue bayangin.
tapi, waktu sendiri gue ini gue bener-bener ngerasa ngga gampang membuat orang lain paham kita

dan gue ga mau buang-buang waktu untuk berdamai dengan lingkungan

me just me.
termasuk dia.

ketergantungan gue sama dia ada di stadium 4.
the only one i trust.

tapi kayaknya konsepsi gue salah.
semua orang punya ego masing-masing, and you can intervate it.
include me to him.

sementara ini gue cuma percaya sama diri sendiri.
charging tenaga dan pikiran buat menghadapi kemungkinan besok.
harus kuat harus kuat.

karena tidak ada satupun yang memahami diri kita, kecuali kita sendiri.

itu prinsip gue, dan sekarang buat gue harga mati.


jadi, gue siap kalau memang harus sendiri, tanpa ada dia.
i'm a big girl in a big world, and big girls don't cry

tapi di sisi lain gue sadar, dia tidak salah dan tidak bisa dipersalahkan

karena itu, please forgive :)
i think i'm not enough good for you.
i dont wanna play with you and your heart.
just walk your way.
that's better than you must accompany me with a lotta my problem.
sorry if it's hurted.

semoga kamu ngerti.

i'm still wonder woman. but i'm not yours

Senin, 04 Juli 2011

27 June 2009


coba coba katakan kepadaku bahwa kita sedang berjalan menuju satu alasan
janganlah kau katakan bahwa kita memang tak ada tujuan dari apa yang di jalankan

aku tak ingin terus terdiam memandangi harapan
terlena akan manis cinta yang berujung kecewa
aku tak ingin terus menunggu sesuatu yang tak pasti
lebih baik kita menangis dan terluka hari ini

coba-coba katakan kepadaku skali lagi bila kita memang benar akan kesana
buktikan dan buatlah ku percaya bahwa kita bisa berujungkan bahagia

habis sudah semua rangkai kata
tlah terungkap semua yang kurasa
yang ku ingin akhir yang bahagia

Minggu, 19 Juni 2011

my experience: lomba debat mahkamah konstitusi

LOMBA DEBAT MAHKAMAH KONSTITUSI!
                                  B E   T H E   F I R S T   W I N N E R ! !




a new experience with my team

alhamdulillah tim debat mk brawijaya lolos ke nasional
yang pasti ini pengalaman baru buat kita
karena sebelumnya kita ngga lolos ke nasional, haha :D


more discussion, more topic

FIGHT FIGHT SUCI!
 

as long as, friendship :)

as we go on, we remember
all the time we had together
and as our life changes
or whatever

"we will still be friends forever"

cerita soal persahabatan, cerita yang ngga akan ada habisnya
semua punya cerita masing-masing,
dan ini cerita gue,


ini sahabat-sahabat gue waktu sma:
"nanda, nova, nita, ata, wanti, niken, devita, etc"


tiba-tiba aja gue keinget sama mereka, padahal kejadian bareng-bareng mereka udah lewat cukup lama.
tapi sampe sekarang gue ga bisa lupa


gosip di ruang osis pulang sekolah
shopping bareng a'la anak sma
maksain ke salon dengan ga jajan sama sekali di sekolah..


pricess..


semuanya emng berubah banget setelah gue kuliah di fakultas hukum universitas brawijaya
seolah-olah orang mau berteman sama gue cuma karena kepentingan


yang ini kepentingan organisasi,


yang itu ngga jelas kepentingan apa dengan mengatasnamakan ukhuwah..
 tapi gue ga bisa ngerasain brotherhood nya


gue akuin mereka semua cukup merubah hidup gue ke arah yang lebih baik
dan gue berterimakasih buat itu


tapi mereka ga bisa ngegantiin tempat sahabat-sahabat gue
yang memang tulus, sayang sama gue dengan kekurangan dan kelebihan gue






dan sekarang dunia memang sudah berbeda
dan bukan sebuah petendi yang bisa disusun sebagai petitum untuk sebuah takdir