Minggu, 29 Januari 2012

a tale

tumpah

cairan (liquid) adalah benda yang selalu berubah mengikuti bentuk wadahnya.
dia mengalir,




dari atas ke bawah 

tapi bisa sebaliknya, dia meresap lewat pori-pori
tergantung medium rambatnya, ada atau tidak celah


ada yang bilang,
"saya mau hidup seperti air, mengalir sajalah"

tapi ada juga yang bilang,
"jangan jadi air, nanti terbawa arus mati ditelan gelombang"

entahlah, bukan dalam hal itu saya tertarik pada air..



terlepas dari kontemplasi perpolitikan air,

saya belajar menyelami perasaan air.
air yang tenang, diam di wadah yang tenang
air beriak, diam di wadah bergerak


saya ini air apa?
entahlah,




tapi rasanya seperti air tenang di wadah yang diam, tapi diam diam disentuh kasar,



simsalabim,




tumpah,
sudah saya...


bagian yang tumpah itu jadi kotor, tidak bisa dimasukan lagi ke dalam gelas,
lama-lama air jadi api,
transformasi partikel atau apalah nama reaksinya.
mau apa kalau air sudah jadi api?
air? api? apa?


| gelap | dingin | jahat |


ah, saya tidak mau jadi air api atau api air
tapi rasanya ini jadi begini, iyakah?

 

Selasa, 10 Januari 2012

my mind


Indonesia, the herritage of diversity

Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau,
Indonesia tanah air beta, Pusaka Abadi Nan Jaya,
Marilah kita berseru Indonesia Bersatu!

Saya memulai tulisan ini dengan gabungan beberapa kalimat dalam lagu-lagu Nasional. Penggambaran luar biasa akan sebuah bangsa ageng dengan tingkat heterogenitas tiada tara. Dalam setiap lagu selalu diselingi dengan harapan luhur akan terciptanya persatuan.
Saya menjadi bertanya-tanya,
Dan mari menyelesaikan teka teki ini,

Indonesia memang merupakan negara bangsa yang beru berdiri sejalan dengan proklamasi kemerdekaannya. Berbeda dengan negara-negara Eropa misalnya, atau Arab Saudi? Atau China?
Ada begitu banyak masyarakat yang berdiri sebagai entitas sendiri-sendiri pra-kemerdekaan. Semuanya berdaulat, hidup dengan ciri guyub yang sama, namun berbeda dalam baju yang membungkusnya. Ini lah yang kemudian kita kenal dengan suku-suku.

Sebelum pada akhirnya kolonialisme datang merusak sendi-sendi kehidupan,
membiarkan bayi-bayi mati sebelum makanan pertamanya,
merampas kehormatan ibu-ibu mereka,
memisahkan si kecil dari ayahnya yang diperbudak dengan tidak manusiawi,
dipukuli, ditelanjangi, dipaksa membayar upeti atas tanahnya sendiri,
ya, itulah mengapa sampai dengan saat ini saya benci dengan pelaku-pelaku yang kamu tahu siapa mereka!

Penderitaan luar biasa penghuni kepulauan-kepulauan nusantara kemudian tersebar seantero jagad,
kaum-kaum intelektual yang senantiasa lahir saling mempertanyakan,
apa ini nasib? apa dikuasai oleh bangsa barat itu takdir baik?

Berangkat dari semangat ini lah yang menyebabkan pemuda pemudi terbaik bangsa ini bergerak, menerobos batas wilayah, mencari-cari kebenaran hingga ke rumah penjajah. Dan manisnya, mereka berpadu dalam Kongres Pemuda..
Dan manisnya lagi, tidak ada dalam benak perwakilan pemuda bahwa Indonesia harus berada di bawah kendalinya,
tidak ada kawan , itu bukan sejarah bangsa ini!
tidak biru, tidak hijau, tidak putih, tidak merah, tidak kuning,

karena birunya langit, tak kan indah tanpa putih
hijaunya daun, tak kan indah tanpa kelopak kuning chrysantium

Ternyata kekuatan kongres pemuda tidak main-main, beberapa tahun setelah inisiatif persatuan itu lahir,
puji syukur atas Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, pada 17 Agustus 1945, bangsa ini memerdekakan diri dari penjajahan barat dan timur.
***
Kini, 66 tahun sudah kita merdeka secara tekstual proklamasi..
Tapi nyatanya bangsa ini tidak pernah luput dari intervensi asing. Tidak sekali-kali!

Divide et impera jilid entah keberapa lahir lagi, lagi dan lagi.
Seolah-olah berkembang biak dan menenggelamkan pertiwi,
orang satu suku kini saling membunuh,
entah kebencian siapa yang meniupkan kalau bukan iblis?
:’(

karena satu orang tidak sengaja terpukul,
seringkali empat lima orang tewas, sepuluh sebelas lainnya kehilangan kaki.
ini namanya rasional?

kita terpengaruh dengan budaya-budaya barat,
masih ingat, halocaust terjadi karena ego pribadi siapa?
Atau yang dekat saja,
Pembantaian masa komunisme di Indonesia, akibat terpengaruh oleh paham siapa?
Padahal provokatornya jauh menyebrangi laut, bermil-mil dari Indonesia.
Ya itulah ego, entah dia anak iblis yang mana..

Kenapa volkgeist kita begitu mudahnya diintervensi sana sini?
Padahal bapak-bapak bangsa ini sudah sedemikian rupa memberikan kita contoh keluhuran pekerti mereka,
Oleh karenanya kita tidak bisa secara parsial mengagungkan Soekarno saja, Muhammad Hatta saja, Sutan Sjahrir saja, Agus Salim saja, Christina Martha Thiahahu saja, Imam Bonjol saja,  Multatuli saja, dan kita masih punya begitu luas nama, seluas pekerti dan tanah tanah air..
Karena kemerdekaan bangsa ini, layaknya puzzle yang mereka susun bersama..

Makanya, ketika akhir-akhir ini saya seringkali mendengar konflik antar beda di Indonesia,
Sebagai pewaris peradaban, the herritage of diversity
nurani saya berontak,
tidak seharusnya kita bersikap primordial sedangkan keberagaman adalah keniscayaan.
seringkali saya menyaksikan betapa mudahnya orang diprovokasi,

orang muslim menjadi anti melihat saudara nya berjilbab,
sedangkan mini skirt yang nyata-nyata fashion barat dan bukan tuntutan religi, dimahfumi
ini nyata!
Kembali statements saya: entah iblis mana yang bersemayam di jiwanya..

Yang benar dibuat seolah-olah salah,
Yang salah dibuat seolah-olah benar,

Jujur, saya bingung harus memberikan jalan keluar apa.
Melalui tulisan ini saya berharap rekan-rekan sesama pemuda indonesia bisa lebih arif memandang perbedaan.
Berbekal pengalaman pribadi, penghargaan atas perbedaan itu indah.

Dan saya juga bukan bicara tanpa aksi,
Minimal saya sudah membrainwash pikiran saya sendiri dan saya siap,
Menjadi pewaris peradaban perbedaan J



Terinspirasi dari sahabat-sahabat saya:
Ira (keturunan Thionghoa), Fatma (Madura), Airin (keturunan Thionghoa), Ike (Madura), Diyana (Bangka), Bahrul Ulum (Sunda), Ari Rua (Dayak), Rendy (Banyuwangi), Datu Bua Napoh (Toraja), Astari Diah (Medan-Aceh)

Dan, seseorang yang sangat dekat dengan saya
Ghozi Zul Azmi (betawi)

Dan saya,
Minangkabau Asli 100%