Senin, 11 Juli 2011

my lecture


Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
tentang Uji Materi Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(UU No.27 Tahun 2004)



Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga negara yang dibentuk oleh Undang-Undang Dasar pada amandemen ke -3.[1] Lembaga ini memiliki kedudukan sebagai  lembaga pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution) dan lembaga penafsir final konstitusi (The Final Intrepreter of the Constitution), oleh karenanya kepada lembaga ini diberikan beberapa kewenangan berdasarkan amanat konstitusi pasal 24C ayat 1 yang berbunyi:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

            Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diamanatkan oleh UUD NRI 1945, yang pada kemudian diejawantahkan oleh Pasal 10 UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah menguji konstitutionalitas Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945, baik itu pengujian formil maupun materiil (konkret).[2] Maka berdasarkan kewenangan yang dimilikinya tersebut, maka gugatan terhadap Undang-Undang No.27 Tahun 2004 ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi.


            Undang-Undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah produk perundang-undangan yang mengamanatkan pembentukan sebuah komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Tujuan DPR daripada pembentukan komisi tersebut adalah untuk memberikan ruang dan mengumpulkan kembali fakta-fakta mengenai pelanggaran HAM berat masa lampau untuk kemudian dilakukan proses penelusuran kebenaran, pengakuan dan pengampunan (amnesti). Namun pada kenyataannya, Undang-Undang tersebut dianggap tidak sejalan dengan tujuan negara (staatsidee) dan cita hukum (rechtsidee) Nasional, yakni menjaga stabilitas dan kerukunan nasional sesuai dengan amanat Pancasila dan Konstitusi Republik Indonesia.
            Berdasarkan gugatan yang diajukan oleh Pemohon, ada beberapa point yang penulis tangkap, yakni sebuah ketidakcocokan konsepsi teoritis pembentukan KKR dengan cita hukum (rechtsidee) dan tujuan negara (staatsidee), adanya kecacatan formil dalam pembentukan undang-undang KKR, dan inkonstitusionalitas substansi undang-undang tersebut. Oleh karena itu pemohon merasa hak konstitusionalitas nya akan terugikan dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut.
            Pertama, dasar gugatan (posita) yang dibawa oleh pemohon adalah ketidaksesuaian konsepsi teori mengenai upaya penanggulangan dengan pemulihan kejahatan HAM berat masa lampau. Undang-Undang KKR menekankan pada upaya rekonsiliasi, yakni adanya penulusuran kebenaran dan pengampunan untuk mempercepat persatuan nasional. Namun pemohon dengan mendasarkan pada statement beberapa pakar, berargumen bahwa yang dibutuhkan dalam pemulihan kejahatan HAM berat dalam konteks Indonesia kekinian adalah Justice. Penegakan keadilannya. Sehingga upaya yang paling  tepat diterapkan adalah melalui Pengadilan HAM Ad-Hoc.
             Hal ini berseberangan dengan konsepsi yang dikemukakan oleh DPR, yang berkedudukan sebagai pembuat Undang-Undang dalam kata lain tergugat. DPR berpendapat bahwa keberadaan lembaga KKR amat diperlukan dalam penyelesaian HAM berat di masa lalu. Karena sesuai dengan celah yang dibuka oleh Pasal 47 Ayat (1) dan (2) UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Argumentasi ini tidak hanya dimiliki oleh DPR, dalam beberapa literatur konsepsi rekonsiliasi ini dianggap sejalan dengan ide keseimbangan yang terkandung dalam implementasi pertanggungjawaban pidana pada Konsep KUHP. Khususnya mengenai pertanggungjawaban pidana,  dikenal dengan adanya rechtirlijk pardon atau judicial pardon atau pengampunan oleh hakim di dalam menerapkan vicarious liability dan strict liability.[3]
            Berdasarkan dua argumentasi di atas, penulis beranggapan bahwa konsep pemohon lah yang paling dekat dengan ciri negara hukum Indonesia[4]. Karena seseorang tidak dapat ditindak sebelum ada mekanisme hukum yang sah dan putusan pengadilan yang inkracht. Mekanisme hukum disini menjadi sangat penting semata-mata demi menjaminnya kepastian hukum (rechtszekerheid), keadilan (rechtbiljkheid) dan kemanfaatan (doelmatigheid). Oleh karena itu penyelesaian kejahatan HAM masa lalu akan jauh lebih efektif apabila dilakukan melalui Peradilan, yakni oleh Pengadilan HAM Ad-Hoc.
            Kedua, pemohon juga beranggapan ada kecacatan formil dalam pembuatan Undang-Undang, yakni tidak dimuatnya Pancasila dalam konsiderans menimbang dan mengingat yang hanya mencantumkan landasan yuridis dan sosiologis. Padahal kedudukan landasan filosofis menjadi amat penting karena berkaitan erat dengan landasan idiil NKRI. Oleh karena itu melalui penulusuran filosofis,undang-undang KKR berpotensi bertentangan dengan konstitusi, yang mana kedudukannya sebagai norma hukum tertinggi (staatsfundamentalnorm).
            Ketiga, definisi absuurd pada pokok-pokok isi Undang-Undang KKR berpeluang besar untuk menimbulkan ketidakadilan hukum. Salah satunya dalam penjabaran definisi korban, yang mana ahli waris dapat menjadi korban.  Rasionaliasi mengenai saksi atau korban adalah mereka yang harus mengalami, merasakan, melihat, mendengar sendiri peristiwa hukum tertentu (testimonium de auditu) adalah hal yang logis dan apabila tidak terpenuhi maka mekanisme hukum nya kemudian menjadi cacat dan berpengaruh pada keputusan yang dihasilkan.
            Selain ketiga argumentasi di atas, pemohon juga berpendapat bahwa pemberlakuan UU KKR akan berpotensi besar menghidupkan kembali kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kasus masa lalu PKI adalah sebuah luka sejarah yang melekat pada pemikiran bangsa dan tidak mudah untuk dihapuskan. Dengan adanya KKR, maka mantan anggota PKI masa lalu maupun ahli warisnya dapat menggunakan senjata HAM untuk menuntut pengakuan terhadap eksistensi HAM dan keyakinan mereka. Padahal adalah sebuah keniscayaan bahwa ideologi PKI jauh bertentangan dengan ideologi bangsa. Injeksi ideologi asing kepada kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia sudah jelas adalah gangguan  nasional dan tidak boleh dibiarkan.
            Dari kesemua argumentasi di atas, penulis sepaham dengan apa yang digugat oleh Pemohon dan putusan Mahkamah Konstitusi bahwasanya Undang-Undang KKR adalah sesuatu yang inkonstitusional. Keberadaan lembaga KKR adalah sebuah pilihan yang tidak tepat dan dimungkinkan menjadi alat rekayasa politik untuk segelintir orang memaksakan ideologinya. Selain itu dalam tataran logis, mewujudkan lembaga KKR sangat kontradiksi dengan faktor psikologis, baik itu pihak korban maupun pihak pelaku pelanggaran HAM berat. Karena dari sisi pelaku akan sulit untuk “mengaku salah” dan dari sisi korban ialah adanya trauma psikologis yang dialami oleh korban pelanggaran HAM berat. Oleh karenanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bukanlah sebuah pilihan solutif atas permasalahan sisa-sisa Pelanggaran HAM berat di masa lampau. Rasio bahwa ketiadaan lembaga yang akan menangani kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sudah terbantahkan dengan kewenangan Pengadilan Ad-Hoc yang dapat memutus Kejahatan HAM masa lalu (retroactive) dan ini merupakan perwujudan dari negara demokratis yang berdasarkan pada hukum.
             


[1] Berdasarkan pendapat Moh.Mahfud M.D dalam Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, yang dimaksud amandemen adalah ‘Pengesahan’ terhadap perubahan konstitusi itu sendiri. Tidak tepat jika dikatakan kalau UUD 1945 sejak tahun 1999 sudah diubah atau diamandemen empat kali.  Hal yang benar adalah UUD 1945 diubah atau diamandemen satu kali, dan dibahas selama tiga tahun dengan cermat dan disahkan dalam empat tahap sidang tahunan MPR yaitu tahun 1999, tahun 2000, tahun 2001, dan tahun 2002.
[2] Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi; Suatu Studi Tentang Ajudikasi Konstitutionalitas sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Jakarta: Pradnja Paramitha, Hlm.117.
[3] Barda Nawawi Arief, 2004, Pokok-Pokok pemikiran (Ide Dasar) Asas-Asas Hukum Pidana Nasional, Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Asas-Asas Hukum Pidana Nasional, diselenggarakan oleh BPHN Depkeh dan HAM RI bekerja sama dengan Universitas Diponogoro Semarang. Hlm.16.
[4] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia amandemen ke-3.

Rabu, 06 Juli 2011

it is dark? is it dark?

semua orang pasti pernah punya waktu-waktu gelap. mungkin sekarang saatnya buat gue.
life without passion.
don't know what i've to do.
buat pertama kalinya sejak kuliah gue ngerasa ga ada pegangan.


ga ada perasaan sama sekali, kosong aja.
ga bisa ngerasa sedih atau seneng.

ujian gue terlantar, dan ini yang terparah.
dan gue sama sekali ga ngerasa worried sama hasilnya.

singkat kata, mati rasa.

saat ini rekor terlama gue ga komunikasi sama dia.
mengakhiri tidak sesederhana dan semudah yang gue bayangin.
tapi, waktu sendiri gue ini gue bener-bener ngerasa ngga gampang membuat orang lain paham kita

dan gue ga mau buang-buang waktu untuk berdamai dengan lingkungan

me just me.
termasuk dia.

ketergantungan gue sama dia ada di stadium 4.
the only one i trust.

tapi kayaknya konsepsi gue salah.
semua orang punya ego masing-masing, and you can intervate it.
include me to him.

sementara ini gue cuma percaya sama diri sendiri.
charging tenaga dan pikiran buat menghadapi kemungkinan besok.
harus kuat harus kuat.

karena tidak ada satupun yang memahami diri kita, kecuali kita sendiri.

itu prinsip gue, dan sekarang buat gue harga mati.


jadi, gue siap kalau memang harus sendiri, tanpa ada dia.
i'm a big girl in a big world, and big girls don't cry

tapi di sisi lain gue sadar, dia tidak salah dan tidak bisa dipersalahkan

karena itu, please forgive :)
i think i'm not enough good for you.
i dont wanna play with you and your heart.
just walk your way.
that's better than you must accompany me with a lotta my problem.
sorry if it's hurted.

semoga kamu ngerti.

i'm still wonder woman. but i'm not yours

Senin, 04 Juli 2011

27 June 2009


coba coba katakan kepadaku bahwa kita sedang berjalan menuju satu alasan
janganlah kau katakan bahwa kita memang tak ada tujuan dari apa yang di jalankan

aku tak ingin terus terdiam memandangi harapan
terlena akan manis cinta yang berujung kecewa
aku tak ingin terus menunggu sesuatu yang tak pasti
lebih baik kita menangis dan terluka hari ini

coba-coba katakan kepadaku skali lagi bila kita memang benar akan kesana
buktikan dan buatlah ku percaya bahwa kita bisa berujungkan bahagia

habis sudah semua rangkai kata
tlah terungkap semua yang kurasa
yang ku ingin akhir yang bahagia