Selasa, 04 Oktober 2011

Violence vs Youth



            Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.[1] Tujuan akhir dari pendidikan tidak lain adalah terciptanya insan cendikia yang memiliki kemapanan baik secara intelektual maupun moril. Oleh karenanya upaya-upaya pendidikan dilakukan bertahap dan berkesinambungan dimulai sejak fase anak-anak.
            Salah satu sasaran pendidikan adalah terciptanya moral manusia yang sopan, santun, susila dan taat norma. Hal ini menjadi penting karena moral adalah modal pokok bagi suatu bangsa untuk menunjukan identitas dan akan berpengaruh besar dalam konteks pembangunan negara. Tanpa moral, tatanan masyarakat akan cenderung anomie dan anarkis. Oleh karena itu, sudah sepatutnya moral menjadi sebuah prioritas pendidikan tanpa mengenyampingkan kualitas intelektual.
            Pada periodisasi modern saat ini, ada sebuah kecendrungan yang kontradiksi dengan konsepsi kemajuan zaman. Fenomena kekerasan dan premanisme di kalangan intelektual muda, khususnya mahasiswa marak terjadi. Mulai dari yang terang-terangan hingga yang tersembunyi. Padahal sejatinya kekerasan adalah sebuah bentuk kegagalan evolusi aksionalitas dan rasionalitas pada manusia. Sehingga subjek yang dimaksud lebih memilih adu fisik ketimbang negosiasi yang merupakan ciri utama masyarakat berbudaya.
            Belum lama ini kita mendengar kasus penganiayaan yang dilakukan oleh sebuah sekolah unggulan di Jakarta Selatan. Kasus perkelahian antara siswa SMAN X dengan Wartawan pada Senin, 19 September 2011 berakhir ricuh dan membuat pihak sekolah terpaksa meliburkan anak didiknya selama 5 hari.  Kasus ini bermula saat puluhan siswa mengkeroyok reporter Trans 7 yang bernama Oktaviardi, yang saat itu sedang meliput tawuran antara siswa SMA X dan Siswa SMA Y di daerah Mahakam. Pimpinan SMA Negeri X merasa gerah dengan pemberitaan di media seputar “Tawuran SMA X″ yang melibatkan siswa-siswanya dengan wartawan. Mereka menganggap berita yang beredar tidak berimbang dan berencana mengadukan masalah ini ke Dewan Pers.  
            Dari kasus di atas dapat kita saksikan kegagalan fundamen institusi pendidikan dalam memberikan pendidikan moral bagi siswanya. Sekolah yang seharusnya mampu menjadi alat rekayasa sosial, sebaliknya malah mempersalahkan pers dengan tuduhan mencemarkan nama baik institusi. Padahal titik tekan permasalahan ini bukanlah pada kejahatan terhadap benda, tapi kekerasan yang merupakan gejala penyimpangan sosial yang ada di masyarakat.
Dalam perspektif kriminologis, permasalahan tersebut dapat terjawab. Mengapa pelajar melakukan kekerasan? Kriminologi menjawabnya dengan teori pembelajaran social (social learning theory). Seseorang dalam melakukan suatu tindakan akan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pengamatan dan pengalaman. Kekerasan yang dilakukan oleh pelajar menurut teori ini, disebabkan karena mereka mengamati hal-hal disekitarnya, orang tuanya melakukan KDRT atau tontonan televisi dan film yang mengumbar kekerasan serta mungkin ada pengalaman kekerasan langsung yang dilakukan terhadap mereka, baik melalui orang tua (KDRT) ataupun lingkungan pertumbuhannya.

Social Learning Theory ini didukung pula dengan teori perkembangan moral atau Moral Development Theory yang dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Menurut teori ini, perkembangan moral manusia berlangsung selama tiga tahap, yakni:
1.preconventional stage (usia 9- 11 tahun)
2.conventional level (usia 12-20 tahun)
3.postconventional level (usia >21 tahun)
Pelajar menengah pertama atau atas termasuk dalam kategori conventional level dimana dalam tahapan ini seorang individu meyakini dan mengadopsi nilai yang berkembang di masyarakat atau lingkungan sekitarnya. Jika lingkungan itu buruk, maka pengaruh yang buruk akan dengan mudah terserap oleh individu itu.[2] Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa ada sebuah penyebab yang kompleks, baik itu dari sisi individu maupun lingkungan sehingga menyebabkan timbul budaya kekerasan di kalangan intelektual muda.
Apapun alasannya, kekerasan adalah sebuah pelanggaran norma hukum maupun sosial yang memerlukan penyelesaian. Instrumen penyelesaiannya tidak hanya cukup dengan menegakan hukum semata, tetapi harus dibarengi dengan memaksimalkan pendidikan sebagai alat rekayasa sosial untuk mengubah perilaku masyarakat. Hukum harus ditegakan dengan seadil-adilnya. Pengusutan hingga tuntas terhadap pelaku kekerasan di kalangan intelektual muda adalah sebuah keharusan, tentunya dengan memperhatikan sisi-sisi psikologis seseorang. Diharapkan generasi muda dapat tumbuh menjadi lapisan masyarakat seutuhnya, yang moralis dan berintelektualitas.



[1] http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id, diakses tanggal 5 Oktober 2011
[2] http://te-effendi-kriminologi.blogspot.com, diakses tanggal 5 Oktober 2011